Jumat, 02 Desember 2011

10 Proses dalam Tubuh yang Masih Terjadi Setelah Kematian

Kematian tidak serta merta menghentikan segala proses biologis dalam tubuh. Beberapa fungsi tubuh terus bekerja selama beberapa menit, jam, hari, bahkan berminggu-minggu setelah kematian.

Seperti dikutip dari io9.com, Jum'at (2/12/2011), proses-proses biologis yang masih berlangsung setelah meninggal antara lain:

1. Pertumbuhan kuku dan rambut
Tubuh tidak memproduksi rambut dan jaringan kuku lagi setelah kematian, namun kedua hal ini nampak 'tumbuh' berhari-hari setelah kematian. Yang sebenarnya terjadi adalah kulit kehilangan kelembaban dan menyusut, sehingga menyebabkan rambut dan kuku tampak lebih panjang.

2. Aktivitas otak
Salah satu efek samping teknologi modern adalah mengaburkan waktu antara hidup dan mati. Otak dapat hampir sepenuhnya mati, namun jantung masih dapat terus memompa darah.

Jika jantung berhenti sejenak, tidak ada napas, dan orang tersebut sedang sekarat, kebanyakan dokter akan mengatakan bahwa orang tersebut mati. Tetapi, otak secara teknis masih hidup selama beberapa menit berikutnya.

Sel-sel otak menghabiskan menit-menit terakhirnya untuk berebut oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan agar tetap hidup hingga pada akhirnya merusak diri sendiri sampai tidak dapat diperbaiki lagi bahkan ketika jantung dihidupkan lagi.

Beberapa menit sebelum kerusakan luas terjadi, otak dapat diselamatkan dengan obat dan pada situasi yang tepat.

3. Pertumbuhan sel kulit
Kehilangan sirkulasi darah di otak dapat membunuh dalam hitungan menit, namun sel-sel lainnya tidak membutuhkan perawatan terus menerus. Sel-sel kulit yang berada pada bagian terluar tubuh dapat mendapat semua yang diperlukan untuk bertahan hidup melalui osmosis dapat tetap hidup selama berhari-hari.

4. Kencing
Mekanisme yang mengatur kencing ini sama seperti yang terlibat dalam pengaturan pernapasan dan detak jantung. Salah satu alasan mengapa orang cenderung pipis tanpa disadari jika sedang mabuk adalah karena bagian otak yang mengatur otot katup kandung kemih terhambat.

Setelah kematian, otot-otot tersebut menjadi rileks dan menyebabkan orang buang air kecil.

5. Buang kotoran
Pada saat stres, tubuh membuang limbah. Pada mayat, pembuangan limbah dibantu oleh gas yang diproduksi di dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi beberapa jam setelah kematian.

Mengingat janin juga dapat buang kotoran di dalam rahim, maka buang kotoran mungkin adalah hal pertama dan terakhir yang dapat dilakukan dalam hidup.

6. Pencernaan
Manusia berbagi tubuhnya dengan beribu-ribu makhluk lain. Banyak di antaranya yang bermanfaat, contohnya bakteri di dalam usus yang tidak akan mati hanya karena tubuh mati. Banyak dari bakteri ini merupakan parasit yang sangat membantu dalam proses pencernaan.

Bakteri-bakteri ini tetap bekerja, bahkan ketika tubuh telah mati. Bakteri lainnya memakan lapisan usus dan menghasilkan gas yang berbau busuk.

7. Ereksi dan Ejakulasi
Ketika jantung berhenti memompa darah ke seluruh tubuh, darah memenuhi bagian tubuh yang paling rendah. Terkadang orang mati berdiri dan terkadang meninggal tergeletak atau menghadap ke bawah.

Sementara itu, tidak semua otot mengalami relaksasi setelah kematian. Beberapa jenis sel-sel otot diaktifkan oleh ion kalsium. Setelah aktivasi, sel-sel mengeluarkan energi yang mengusir ion kalsium keluar dari sel.

Setelah kematian, membran sel menjadi lebih mudah ditembus kalsium dan sel-sel tidak mampu mengeluarkan banyak energi untuk mendorong ion kaslium keluar, sehingga otot akan menegang. Hal ini dapat menyebabkan ejakulasi.

8. Gerakan otot
Meskipun otak sudah mati, daerah lain dari sistem saraf mungkin masih aktif. Beberapa tenaga kesehatan tentu pernah melihat tindakan refleks yang melibatkan pengiriman sinyal saraf ke sumsum tulang belakang, bukan otak.

Sinyal saraf tersebut menyebabkan otot berkedut dan kejang setelah kematian. Beberapa orang bhahkan mengatakan telah melihat pergerakan dada yang halus setelah kematian.

9. Vokalisasi
Tubuh pada dasarnya merupakan kantung gas dan bahan-bahan pekat lain yang disangga oleh tulang. Pembusukan terjadi ketika bakteri dalam tubuh bekerja dan proporsi gas meningkat. Karena tubuh masih mengandung bakteri, gas menumpuk di dalam tubuh.

Salah satu cara pengeluaran gas adalah melalui saluran pernafasan. Semua otot menegang 3 - 12 jam setelah kematian, termasuk otot pita suara. Penegangan otot pita suara dikombinasikan pengeluaran gas tersebut menyebabkan mayat mengeluarkan suara yang menakutkan.

10. Melahirkan
Kembali pada masa-masa banyak wabah menyerang Eropa, beberapa orang perempuan meninggal saat hamil dan terkadang tidak sempat dimakamkan. Hal ini melahirkan sebuah istilah yang disebut 'kelahiran peti mati.'

Gas-gas yang menumpuk di dalam tubuh, dikombinasi dengan pelunakan daging, menyebabkan tubuh lebih mudah mengeluarkan janin. Untungnya, peristiwa ini jarang terjadi.

Waktu Perdarahan (bleeding time)

Waktu perdarahan (bleeding time, BT) adalah uji laboratorium untuk menentukan lamanya tubuh menghentikan perdarahan akibat trauma yang dibuat secara laboratoris. Pemeriksaan ini mengukur hemostasis dan koagulasi. Masa perdarahan tergantung atas : ketepatgunaan cairan jaringan dalam memacu koagulasi, fungsi pembuluh darah kapiler dan trombosit. Pemeriksaan ini terutama mengenai trombosit, yaitu jumlah dan kemampuan untuk adhesi pada jaringan subendotel dan membentuk agregasi. Bila trombosit

Prinsip pemeriksaan ini adalah menghitung lamanya perdarahan sejak terjadi luka kecil pada permukaan kulit dan dilakukan dalam kondisi yang standard. Ada 2 teknik yang dapat digunakan, yaitu teknik Ivy dan Duke. Kepekaan teknik Ivy lebih baik dengan nilai normal 1-6 menit. Teknik Duke nilai normal 1-8 menit. Teknik Ivy menggunakan lengan bawah untuk insisi merupakan teknik yang paling terkenal. Aspirin dan antiinflamasi dapat memperlama waktu perdarahan.

Uji ini tidak boleh dilakukan jika penderita sedang mengkonsumsi antikoagulan atau aspirin; pengobatan harus ditangguhkan dulu selama 3 – 7 hari.


Prosedur
  1. Metode Ivy
    • Pasang manset tensimeter pada lengan atas pasien kemudian atur tekanan pada 40 mmHg. Tekanan ini dipertahankan hingga pemeriksaan selesai.
    • Pilih lokasi penusukan pada satu tempat kira-kira 3 cm di bawah lipat siku. Bersihkan lokasi tersebut dengan kapas alkohol 70 %, tunggu hingga kering.
    • Tusuk kulit dengan lancet sedalam 3 mm. Hindari menusuk vena.
    • Hidupkan stopwatch saat darah mulai keluar kemudian isap darah yang keluar dengan kertas saring setiap 30 detik.
    • Matikan stopwatch pada saat darah berhenti mengalir.
    • Kurangi tekanan hingga 0 mmHg lalu lepas manset tensimeter.
    • Hitung masa perdarahan dengan menghitung jumlah noktah darah yang ada pada kertas saring. Jika telah lewat 10 menit perdarahan masih berlangsung, maka hentikan pemeriksaan ini.
  2. Metode Duke
    • Bersihkan anak daun telinga dengan kapas alkohol 70 %, tunggu hingga kering.
    • Tusuk pinggir anak daun telinga dengan lancet sedalam 2 mm.
    • Hidupkan stopwatch saat darah mulai keluar kemudian isap darah yang keluar dengan kertas saring setiap 30 detik.
    • Matikan stopwatch pada saat darah berhenti mengalir.
    • Kurangi tekanan hingga 0 mmHg lalu lepas manset tensimeter.
    • Hitung masa perdarahan dengan menghitung jumlah noktah darah yang ada pada kertas saring.

Masalah Klinis

HASIL MEMENDEK : Penyakit Hodgkin
HASIL MEMANJANG : idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), abnormalitas trombosit, abnormalitas vascular, leukemia, penyakit hati serius, disseminated intravascular coagulation (DIC), anemia aplastik, defisiensi faktor koagulasi (V, VII, XI). Pengaruh obat : salisilat (aspirin), dekstran, mitramisin, warfarin (Coumadin), streptokinase (streptodornasi, agens fibrinolitik).


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Metode yang digunakan; teknik yang tidak tepat – bila terjadi luka pungsi yang mungkin lebih dalam daripada yang seharusnya. Bila tetesan darah ditekan paksa pada permukaan kertas dan tidak menunggu tetesan darah benar-benar terisap dengan sendirinya pada kertas penghisap, hal ini dapat merusak partikel fibrin sehingga memperlama perdarahan.
  • Obat aspirin dan antikoagulan dapat memperlama perdarahan.

PT (prothrombin time)

Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses pembekuan. Protrombin dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin yang diperlukan untuk membentuk bekuan darah.
Uji masa protrombin (prothrombin time, PT) untuk menilai kemampuan faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat mensintesis protrombin.

PT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi ekstrinsik dan bersama jika kadarnya <30% style="font-style: italic;">

International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) menganjurkan tromboplastin jaringan yang digunakan harus distandardisasi dengan tromboplastin rujukan dari WHO untuk mendapatkan International Sensitivity Index (ISI). International Normalized Ratio (INR) adalah satuan yang lazim digunakan untuk pemantauan pemakaian antikoagulan oral. INR didadapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan nilai PT normal kemudian dipangkatkan dengan ISI. INR merupakan rancangan untuk memperbaiki proses pemantauan terhadap terapi warfarin sehingga INR digunakan sebagai uji terstandardisasi internasional untuk PT. INR dirancang untuk pemberian terapi warfarin jangka panjang dan hanya boleh digunakan setelah respons klien stabil terhadap warfarin. Stabilisasi memerlukan waktu sedikitnya seminggu. Standar INR tidak boleh digunakan jika klien baru memulai terapi warfarin guna menghindari hasil yang salah pada uji.


Penetapan
Bahan pemeriksaan untuk uji PT adalah plasma sitrat yang diperoleh dari sampel darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109M) dengan perbandingan 9:1. Darah sitrat harus diperiksa dalam waktu selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan. Sampel dipusingkan selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dan disimpan pada suhu 20 +5oC tahan 8 jam. Penyimpanan sampel plasma pada suhu 2-8oC menyebabkan teraktivasinya faktor VII (prokonvertin) oleh sistem kalikrein.

PT dapat diukur secara manual (visual), fotooptik atau elektromekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti.

Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Reagen yang digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan CaCl2. Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya :
  • Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida (mis. Neoplastine CI plus)
  • Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan pengawet (mis. Thromborel S).

Masalah Klinis

HASIL MEMANJANG : Penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker hati, jaundice), afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X), disseminated intravascular coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the newborn (HDN), gangguan reabsorbsi usus. Pengaruh obat : treatmen vitamin K antagonis, antibiotic (penisilin, streptomisin, karbenisilin, kloramfenikol [Chloromycetin], kanamisin [Kantrex], neomisin, tetrasiklin), antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin (Thorazine), klordiazepoksid (Librium), difenilhidantoin (Dilantin), heparin, metildopa (Aldomet), mitramisin, reserpin (Serpasil), fenilbutazon (Butazolidin), quinidin, salisilat (aspirin), sulfonamide.

HASIL MEMENDEK : tromboflebitis, infark miokardial, embolisme pulmonal. Pengaruh Obat : barbiturate, digitalis, diuretic, difenhidramin (Benadryl), kontrasepsi oral, rifampin, metaproterenol (Alupent, Metaprel).


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Sampel darah membeku,
  • Membiarkan sampel darah sitrat disimpan pada suhu kamar selama beberapa jam,
  • Diet tinggi lemak (pemendekan PT) dan penggunaan alkohol (pemanjangan PT) dapat menyebabkan perubahan endogen dari produksi PT.

APTT (activated partial thromboplastin time)

Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang berfungsi sebagai pengganti platelet factor 3 (PF3), dapat berasal dari manusia, tumbuhan dan hewan, dengan aktivator seperti kaolin, ellagic acid, micronized silica atau celite. Reagen komersil yang dipakai misalnya CK Prest 2 yang berasal dari jaringan otak kelinci dengan kaolin sebagai aktivator. Reagen Patrhrombin SL menggunakan fosfolipid dari tumbuhan dengan aktivator micronized silica.

Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time, APTT) adalah uji laboratorium untuk menilai aktifitas faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama, yaitu faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein, kininogen, faktor XI (plasma tromboplastin antecendent, PTA), faktor IX (factor Christmas), faktor VIII (antihemophilic factor, AHF), faktor X (faktor Stuart), faktor V (proakselerin), faktor II (protrombin) dan faktor I (fibrinogen). Tes ini untuk monitoring terapi heparin atau adanya circulating anticoagulant. APTT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi instrinsik dan bersama jika kadarnya <> 7 detik dari nilai normal, maka hasil pemeriksaan itu dianggap abnormal.

APTT memanjang dijumpai pada :
  1. Defisiensi bawaan
    • Jika PPT normal kemungkinan kekurangan :
      • Faktor VIII
      • Faktor IX
      • Faktor XI
      • Faktor XII
    • Jika faktor-faktor koagulasi tersebut normal, kemungkinan kekurangan HMW kininogen (Fitzgerald factor)
    • Defisiensi vitamin K, defisiensi protrombin, hipofibrinogenemia.
  2. Defisiensi didapat dan kondisi abnormal seperti :
    • Penyakit hati (sirosis hati)
    • Leukemia (mielositik, monositik)
    • Penyakit von Willebrand (hemophilia vaskular)
    • Malaria
    • Koagulopati konsumtif, seperti pada disseminated intravascular coagulation (DIC)
    • Circulating anticoagulant (antiprothrombinase atau circulating anticoagulant terhadap suatu faktor koagulasi)
    • Selama terapi antikoagulan oral atau heparin


Penetapan

Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan cara manual (visual) atau dengan alat otomatis (koagulometer), yang menggunakan metode foto-optik dan elektro-mekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti.

Prinsip dari uji APTT adalah menginkubasikan plasma sitrat yang mengandung semua faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin parsial (fosfolipid) dengan bahan pengaktif (mis. kaolin, ellagic acid, mikronized silica atau celite koloidal). Setelah ditambah kalsium maka akan terjadi bekuan fibrin. Waktu koagulasi dicatat sebagai APTT.

Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi silikon. Sampel dipusingkan selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dalam tabung plastik tahan 4 jam pada suhu 20±5oC. Jika dalam terapi heparin, plasma masih stabil dalam 2 jam pada suhu 20±5oC kalau sampling dengan antikoagulan citrate dan 4 jam pada suhu 20±5oC kalau sampling dengan tabung CTAD.


Nilai Rujukan

Nilai normal uji APTT adalah 20 – 35 detik, namun hasil ini bisa bervariasi untuk tiap laboratorium tergantung pada peralatan dan reagen yang digunakan.


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Pembekuan sampel darah,
  • Sampel darah hemolisis atau berbusa akibat dikocok-kocok,
  • Pengambilan sampel darah pada intravena-lines (mis. pada infus heparin).

Fibrinogen

Fibrinogen adalah glikoprotein dengan berat molekul mencapai 340.000 dalton. Fibrinogen disintesis di hati (1,7-5 g/hari) dan oleh megakariosit. Di dalam plasma kadarnya sekitar 200-400 mg/dl. Waktu paruh fibrinogen sekitar 3-5 hari.

Fibrinogen tersusun atas 6 rantai, yaitu : 2 rantai Aα, 2 rantai Bβ dan 2 rantai γ. Trombin (FIIa) memecah molekul fibrinogen menjadi 2 fibrinopeptide A (FPA) dari rantai Aα dan 2 fibrinopeptide B (FPB) dari rantai Bβ. Fibrin monomer yang dihasilkan dari reaksi ini kemudian berlekatan membentuk fibrin, yang selanjutnya distabilkan oleh factor XIIIa. Tahap pertama stabilisasi terdiri atas ikatan dua rantai γ dari dua fibrin monomer. Ikatan ini adalah asal dari D-Dimer, produk degradasi fibrin spesifik. Fibrinogen dapat didegradasi oleh plasmin.


Penetapan

Pengukuran kadar fibrinogen dapat dilakukan secara manual (visual), foto optik atau elektro mekanik. Pemeriksaan ini menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang diencerkan ditambahkan thrombin. Waktu pembekuan dari plasma terdilusi berbanding terbalik dengan kadar fibrinogen.

Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi silikon. Sampel dipusingkan selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dalam tabung plastik tahan 8 jam pada suhu 20±5oC.


Masalah Klinis

PENURUNAN KADAR : DIC, fibrinogenolisis, hipofibrinogenemia, komplikasi obstetrik, penyakit hati berat, leukemia. Pada dasarnya, masa protrombin (PPT) dan masa tromboplastin parsial (APTT) yang memanjang serta trombosit yang rendah menandakan terjadinya defisiensi fibrinogen dan juga merupakan tanda DIC. Produk degradasi fibrin (fibrin degradation product, FDP) biasanya diukur untuk memastikan terjadinya DIC.

PENINGKATAN KADAR
: infeksi akut, penyakit kolagen, diabetes, sindroma inflamatori, obesitas. Pengaruh obat : kontrasepsi oral, heparin.


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Trauma paskabedah dan kehamilan trimester ketiga dapat menyebabkan temuan positif keliru dari peningkatan kadar fibrinogen,
  • Hemolisis sampel dapat menyebabkan temuan yang tidak akurat,
  • Kontrasepsi oral dan heparin dapat meningkatkan temuan uji.

Pengukuran D-dimer

D-Dimer adalah suatu fragmen degradasi fibrin yang dihasilkan setelah berlangsung fibrinolisis. Dinamakan demikian karena mengandung dua fragmen silang D protein fibrin. Kadar D-dimer digunakan untuk membantu mendiagnosis trombosis. Sejak diperkenalkan pada tahun 1990-an, ia telah menjadi tes penting yang dilakukan pada pasien yang diduga terdapat gangguan trombotik.

Bila vena atau arteri yang terluka dan darah mulai bocor, maka faktor-faktor pembekuan diaktifkan dalam urutan langkah-langkah pembekuan (disebut kaskade koagulasi) untuk membatasi pendarahan dan menciptakan gumpalan yang menyumbat luka. Gumpalan tersebut adalah benang protein yang disebut fibrin.

Setelah memiliki waktu untuk menyembuhkan daerah cedera tersebut, tubuh menggunakan protein yang disebut plasmin untuk memecahkan gumpalan (thrombus) menjadi bagian-bagian kecil sehingga dapat dibersihkan. Proses tersebut dinamakan fibrinolisis yang menghasilkan fragmen-fragmen yang disebut produk degradasi fibrin (fibrin degradation product, FDP). Salah satu produk degradasi fibrin tersebut adalah D-dimer. Pengukuran D-dimer dapat memberitahu bahwa telah terjadi proses yang abnormal pada mekanisme pembekuan darah.

Pengukuran D-Dimer diindikasikan apabila ada dugaan trombosis vena dalam (deep vein trombosis, DVT), emboli paru (pulmonary embolus/embolism, PE), pembekuan intravaskuler menyeluruh (disseminated intravascular coagulation, DIC), arterial thromboemboli, infark myocard, dll


PROSEDUR

Metode

Pengukuran D-dimer dapat dilakukan dengan cara aglutinasi atau imunometrik menggunakan antibodi monoklonal spesifik terhadap D-dimer. Pada cara aglutinasi, plasma penderita yang mengandung D-dimer direaksikan dengan partikel latex yang dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap D-dimer membentuk gumpalan. Penentuan titer D-dimer dilakukan dengan mengencerkan plasma dengan buffer lalu mencampurnya dengan partikel latex. Titer D-dimer adalah pengenceran plasma tertinggi yang masih menunjukkan gumpalan.

Pengukuran secara imunometrik, plasma penderita yang mengandung D-dimer diteteskan pada suatu membran yang dilapisi antibodi monoklonal D-dimer dan kemudian ditambah konjugat yang mengandung partikel berwarna. Penentuan kadar D-dimer dilakukan dengan mengukur intensitas warna yang dihasilkan.

Spesimen

Spesimen yang diperlukan untuk pengukuran D-dimer adalah plasma citrat 9:1. Kumpulkan darah vena dalm tabung bertutup biru (citrat). Cegah jangan sampai hemolisis; campur spesimen dengan lembut dengan membolak-balikkan tabung secara perlahan, tabung jangan dikocok. Spesimen dipusingkan selama 15 menit pada 4000 rpm. Pisahkan plasmanya.


NILAI RUJUKAN

Hasil normal : negatif atau kurang dari 300 ng/ml



MASALAH KLINIS

Tes D-dimer yang dipesan bersama dengan tes laboratorium lainnya dan scan imaging, untuk membantu menyingkirkan, mendiagnosa, dan memantau penyakit dan kondisi yang menyebabkan hiperkoagulabilitas, kecenderungan untuk membeku yang tidak normal. Salah satu yang paling umum dari kondisi-kondisi ini adalah trombosis vena dalam (DVT), yang melibatkan pembentukan gumpalan dalam pembuluh darah dalam tubuh, yang paling sering di kaki. Gumpalan ini dapat menjadi sangat besar dan menyumbat aliran darah di kaki, menyebabkan pembengkakan, nyeri, dan kerusakan jaringan. Gumpalan ini dapat saja patah menjadi potongan bekuan (disebut embolus) dan berjalan ke bagian lain dari tubuh (mis. paru-paru), di mana gumpalan dapat menyebabkan embolus atau emboli paru (PE).

Gumpalan juga dapat terbentuk di daerah lain, misalnya di arteri koroner yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung). Gumpalan juga bisa terbentuk di dalam saluran atau katup jantung, terutama ketika jantung berdetak tidak teratur (fibrilasi atrial) atau ketika katup rusak. Pembekuan juga dapat terbentuk di arteri besar sebagai akibat dari kerusakan dari aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah). Gumpalan seperti potongan-potongan mungkin juga patah dan menyebabkan embolus yang menghalangi pembuluh nadi di organ lain, seperti otak (menyebabkan stroke) atau ginjal.

Pemeriksaan D-dimer dapat diminta ketika pasien memiliki gejala DVT, seperti nyeri kaki, pembengkakan, perubahan warna, edema, atau gejala PE, seperti sesak nafas, batuk, dan nyeri dada yang berhubungan dengan paru-paru. D-dimer sangat berguna ketika dokter berpendapat bahwa sesuatu selain DVT atau PE menyebabkan gejala.

Pengukuran D-dimer bersama dengan tes lainnya (PT, aPTT, fibrinogen dan hitung trombosit) juga digunakan untuk membantu mendiagnosis DIC. DIC adalah suatu sindroma dimana terjadi pembentukan fibrin yang menyebar di pembuluh darah yang terjadi sebagai akibat pembentukan trombin. Proses ini diawali dengan munculnya aktifitas faktor pembekuan dalam sirkulasi yang akhirnya diikuti dengan fibrinolisis sekunder. DIC merupakan suatu kondisi yang kompleks yang dapat timbul dari berbagai situasi, seperti :
  • solusio plasenta, abruptio placenta, embolus cairan ketuban, trauma, sindrom emboli lemak, sepsis, leukemia promielositik, sindrom retensi janin meninggal, hemolisis intravascular akut, bedah pintas kardiopulmonal
  • penyakit kompleks imun, penyakit hati, sengatan panas (heat stroke), luka bakar, vaskulitis, anoksia, asidosis
  • pankreatitis akut, syok septik, gigitan ular berbisa, kehamilan, eklampsia, penyakit jantung, beberapa jenis kanker, pasca persalinan.

Pada DIC, faktor-faktor pembekuan diaktifkan dan kemudian digunakan di seluruh tubuh. Hal ini menciptakan gumpalan darah di banyak tempat dan pada saat yang sama pasien rentan terhadap perdarahan yang berlebihan. Seorang pasien menunjukkan gejala DIC, seperti pendarahan gusi, mual, muntah, otot parah dan nyeri perut, kejang dan Oliguria (penurunan output urin). Kadar D-dimer dapat digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan DIC.


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium
  • Terapi antikoagulan dapat menyebabkan temuan negatif palsu
  • Kadar D-dimer akan meningkat pada orang lanjut usia
  • Hasil positif palsu dapat dijumpai pada pasien dengan rheumatoid arthritis (kadar faktor rheumatoid tinggi)
  • Hipertrigliseridemi atau lipemia dan hiperbilirubinemia dapat menyebabkan temuan positif palsu
  • Sampel hemolisis disebabkan oleh pengumpulan dan penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan temuan positif palsu.

Analisis Mikroskopik (Urine)

Pemeriksaan mikroskopik diperlukan untuk mengamati sel dan benda berbentuk partikel lainnya. Banyak macam unsur mikroskopik dapat ditemukan baik yang ada kaitannya dengan infeksi (bakteri, virus) maupun yang bukan karena infeksi misalnya perdarahan, disfungsi endotel dan gagal ginjal.

Metode pemeriksaan mikroskopik sedimen urine lebih dianjurkan untuk dikerjakan dengan pengecatan Stenheimer-Malbin. Dengan pewarnaan ini, unsur-unsur mikroskopik yang sukar terlihat pada sediaan natif dapat terlihat jelas.


PROSEDUR

Sampel urin dihomogenkan dulu kemudian dipindahkan ke dalam tabung pemusing sebanyak 10 ml. Selanjutnya dipusingkan dengan kecepatan relatif rendah (sekitar 1500 - 2000 rpm) selama 5 menit. Tabung dibalik dengan cepat (decanting) untuk membuang supernatant sehingga tersisa endapan kira-kira 0,2-0,5 ml. Endapan diteteskan ke gelas obyek dan ditutup dengan coverglass. Jika hendak dicat dengan dengan pewarna Stenheimer-Malbin, tetesi endapan dengan 1-2 tetes cat tersebut, kemudian dikocok dan dituang ke obyek glass dan ditutup dengan coverglass, siap untuk diperiksa.

Endapan pertama kali diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran rendah menggunakan lensa obyektif 10X, disebut lapang pandang lemah (LPL) atau low power field (LPF) untuk mengidentifikasi benda-benda besar seperti silinder dan kristal. Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan tinggi menggunakan lensa obyektif 40X, disebut lapang pandang kuat (LPK) atau high power field (HPF) untuk mengidentifikasi sel (eritrosit, lekosit, epitel), ragi, bakteri, Trichomonas, filamen lendir, sel sperma. Jika identifikasi silinder atau kristal belum jelas, pengamatan dengan lapang pandang kuat juga dapat dilakukan.

Karena jumlah elemen yang ditemukan dalam setiap bidang dapat berbeda dari satu bidang ke bidang lainnya, beberapa bidang dirata-rata. Berbagai jenis sel yang biasanya digambarkan sebagai jumlah tiap jenis ditemukan per rata-rata lapang pandang kuat. Jumlah silinder biasanya dilaporkan sebagai jumlah tiap jenis yang ditemukan per lapang pandang lemah.

Cara melaporkan hasil adalah sebagai berikut :




DilaporkanNormal++++++++++
Eritrosit/LPK0-34-88-30lebih dari 30penuh
Leukosit/LPK0-45-2020-50lebih dari 50penuh
Silinder/Kristal/LPL0-11-55-1010-30lebih dari 30
Keterangan :
Khusus untuk kristal Ca-oxallate : + masih dinyatakan normal; ++ dan +++ sudah dinyatakan abnormal.


Eritrosit

Eritrosit dalam air seni dapat berasal dari bagian manapun dari saluran kemih. Secara teoritis, harusnya tidak dapat ditemukan adanya eritrosit, namun dalam urine normal dapat ditemukan 0 – 3 sel/LPK. Hematuria adalah adanya peningkatan jumlah eritrosit dalam urin karena: kerusakan glomerular, tumor yang mengikis saluran kemih, trauma ginjal, batu saluran kemih, infeksi, inflamasi, infark ginjal, nekrosis tubular akut, infeksi saluran kemih atas dan bawah, nefrotoksin, dll.

Hematuria dibedakan menjadi hematuria makroskopik (gross hematuria) dan hematuria mikroskopik. Darah yang dapat terlihat jelas secara visual menunjukkan perdarahan berasal dari saluran kemih bagian bawah, sedangkan hematuria mikroskopik lebih bermakna untuk kerusakan glomerulus.

Dinyatakan hematuria mikroskopik jika dalam urin ditemukan lebih dari 5 eritrosit/LPK. Hematuria mikroskopik sering dijumpai pada nefropati diabetik, hipertensi, dan ginjal polikistik. Hematuria mikroskopik dapat terjadi persisten, berulang atau sementara dan berasal dari sepanjang ginjal-saluran kemih. Hematuria persisten banyak dijumpai pada perdarahan glomerulus ginjal.

Eritrosit dapat terlihat berbentuk normal, membengkak, krenasi, mengecil, shadow atau ghost cells dengan mikroskop cahaya. Spesimen segar dengan berat jenis 1,010-1,020, eritrosit berbentuk cakram normal. Eritrosit tampak bengkak dan hampir tidak berwarna pada urin yang encer, tampak mengkerut (crenated) pada urine yang pekat, dan tampak mengecil sekali dalam urine yang alkali. Selain itu, kadang-kadang eritrosit tampak seperti ragi.

Eritrosit dismorfik tampak pada ukuran yang heterogen, hipokromik, terdistorsi dan sering tampak gumpalan-gumpalan kecil tidak beraturan tersebar di membran sel. Eritrosit dismorfik memiliki bentuk aneh akibat terdistorsi saat melalui struktur glomerulus yang abnormal. Adanya eritrosit dismorfik dalam urin menunjukkan penyakit glomerular seperti glomerulonefritis.



Leukosit


Lekosit berbentuk bulat, berinti, granuler, berukuran kira-kira 1,5 – 2 kali eritrosit. Lekosit dalam urine umumnya adalah neutrofil (polymorphonuclear, PMN). Lekosit dapat berasal dari bagian manapun dari saluran kemih.

Lekosit hingga 4 atau 5 per LPK umumnya masih dianggap normal. Peningkatan jumlah lekosit dalam urine (leukosituria atau piuria) umumnya menunjukkan adanya infeksi saluran kemih baik bagian atas atau bawah, sistitis, pielonefritis, atau glomerulonefritis akut. Leukosituria juga dapat dijumpai pada febris, dehidrasi, stress, leukemia tanpa adanya infeksi atau inflamasi, karena kecepatan ekskresi leukosit meningkat yang mungkin disebabkan karena adanya perubahan permeabilitas membran glomerulus atau perubahan motilitas leukosit. Pada kondisi berat jenis urin rendah, leukosit dapat ditemukan dalam bentuk sel Glitter merupakan lekosit PMN yang menunjukkan gerakan Brown butiran dalam sitoplasma. Pada suasana pH alkali leukosit cenderung berkelompok.

Lekosit dalam urine juga dapat merupakan suatu kontaminan dari saluran urogenital, misalnya dari vagina dan infeksi serviks, atau meatus uretra eksterna pada laki-laki.

Sel Epitel
  • Sel Epitel TubulusSel epitel tubulus ginjal berbentuk bulat atau oval, lebih besar dari leukosit, mengandung inti bulat atau oval besar, bergranula dan biasanya terbawa ke urin dalam jumlah kecil. Namun, pada sindrom nefrotik dan dalam kondisi yang mengarah ke degenerasi saluran kemih, jumlahnya bisa meningkat. Jumlah sel tubulus ≥ 13 / LPK atau penemuan fragmen sel tubulus dapat menunjukkan adanya penyakit ginjal yang aktif atau luka pada tubulus, seperti pada nefritis, nekrosis tubuler akut, infeksi virus pada ginjal, penolakan transplnatasi ginjal, keracunan salisilat.
  • Sel epitel tubulus dapat terisi oleh banyak tetesan lemak yang berada dalam lumen tubulus (lipoprotein yang menembus glomerulus), sel-sel seperti ini disebut oval fat bodies / renal tubular fat / renal tubular fat bodies. Oval fat bodies menunjukkan adanya disfungsi disfungsi glomerulus dengan kebocoran plasma ke dalam urin dan kematian sel epitel tubulus. Oval fat bodies dapat dijumpai pada sindrom nefrotik, diabetes mellitus lanjut, kerusakan sel epitel tubulus yang berat karena keracunan etilen glikol, air raksa. Selain sel epitel tubulus, oval fat bodies juga dapat berupa makrofag atau hisiosit. Sel epitel tubulus yang membesar dengan multinukleus (multinucleated giant cells) dapat dijumpai pada infeksi virus. Jenis virus yang dapat menginfeksi saluran kemih adalah Cytomegalovirus (CMV) atau Herpes simplex virus (HSV) tipe 1 maupun tipe 2.
  • Sel epitel transisional Sel epitel ini dari pelvis ginjal, ureter, kandung kemih (vesica urinaria), atau uretra, lebih besar dari sel epitel tubulus ginjal, dan agak lebih kecil dari sel epitel skuamosa. Sel epitel ini berbentuk bulat atau oval, gelendong dan sering mempunyai tonjolan. Besar kecilnya ukuran sel epitel transisional tergantung dari bagian saluran kemih yang mana dia berasal. Sel epitel skuamosa adalah sel epitel terbesar yang terlihat pada spesimen urin normal. Sel epitel ini tipis, datar, dan inti bulat kecil. Mereka mungkin hadir sebagai sel tunggal atau sebagai kelompok dengan ukuran bervariasi.
  • Sel skuamosa Epitel skuamosa umumnya dalam jumlah yang lebih rendah dan berasal dari permukaan kulit atau dari luar uretra. Signifikansi utama mereka adalah sebagai indikator kontaminasi.





Silinder


Silinder (cast) adalah massa protein berbentuk silindris yang terbentuk di tubulus ginjal dan dibilas masuk ke dalam urine. Silinder terbentuk hanya dalam tubulus distal yang rumit atau saluran pengumpul (nefron distal). Tubulus proksimal dan lengkung Henle bukan lokasi untuk pembentukan silinder. Silinder dibagi-bagi berdasarkan gambaran morfologik dan komposisinya. Faktor-faktor yang mendukung pembentukan silinder adalah laju aliran yang rendah, konsentrasi garam tinggi, volume urine yang rendah, dan pH rendah (asam) yang menyebabkan denaturasi dan precipitasi protein, terutama mukoprotein Tamm-Horsfall. Mukoprotein Tamm-Horsfall adalah matriks protein yang lengket yang terdiri dari glikoprotein yang dihasilkan oleh sel epitel ginjal. Semua benda berupa partikel atau sel yang terdapat dalam tubulus yang abnormal mudah melekat pada matriks protein yang lengket.

Konstituen selular yang umumnya melekat pada silinder adalah eritrosit, leukosit, dan sel epitel tubulus, baik dalam keadaan utuh atau dalam berbagai tahapan disintegrasi. Apabila silinder mengandung sel atau bahan lain yang cukup banyak, silinder tersebut dilaporkan berdasarkan konstituennya. Apabila konstituen selular mengalami disintegrasi menjadi partikel granuler atau debris, biasanya silinder hanya disebut sebagai silinder granular.


1
. Silinder hialin

Silinder hialin atau silinder protein terutama terdiri dari mucoprotein (protein Tamm-Horsfall) yang dikeluarkan oleh sel-sel tubulus. Silinder ini homogen (tanpa struktur), tekstur halus, jernih, sisi-sisinya parallel, dan ujung-ujungnya membulat. Sekresi protein Tamm-Horsfall membentuk sebuah silinder hialin di saluran pengumpul.

Silinder hialin tidak selalu menunjukkan penyakit klinis. Silinder hialin dapat dilihat bahkan pada pasien yang sehat. Sedimen urin normal mungkin berisi 0 – 1 silinder hialin per LPL. Jumlah yang lebih besar dapat dikaitkan dengan proteinuria ginjal (misalnya, penyakit glomerular) atau ekstra-ginjal (misalnya, overflow proteinuria seperti dalam myeloma).
Silinder protein dengan panjang, ekor tipis terbentuk di persimpangan lengkung Henle's dan tubulus distal yang rumit disebut silindroid (cylindroids).


2. Silinder Eritrosit

Silinder eritrosit bersifat granuler dan mengandung hemoglobin dari kerusakan eritrosit. Adanya silinder eritrosit disertai hematuria mikroskopik memperkuat diagnosis untuk kelainan glomerulus. Cedera glomerulus yang parah dengan kebocoran eritrosit atau kerusakan tubular yang parah menyebabkan sel-sel eritrosit melekat pada matriks protein (mukoprotein Tamm-Horsfall) dan membentuk silinder eritrosit.


3. Silinder Leukosit

Silinder lekosit atau silinder nanah, terjadi ketika leukosit masuk dalam matriks Silinder. Kehadiran mereka menunjukkan peradangan pada ginjal, karena silinder tersebut tidak akan terbentuk kecuali dalam ginjal. Silinder lekosit paling khas untuk pielonefritis akut, tetapi juga dapat ditemukan pada penyakit glomerulus (glomerulonefritis). Glitter sel (fagositik neutrofil) biasanya akan menyertai silinder lekosit. Penemuan silinder leukosit yang bercampur dengan bakteri mempunyai arti penting untuk pielonefritis, mengingat pielonefritis dapat berjalan tanpa keluhan meskipun telah merusak jaringan ginjal secara progresif.


4. Silinder Granular

Silinder granular adalah silinder selular yang mengalami degenerasi. Disintegrasi sel selama transit melalui sistem saluran kemih menghasilkan perubahan membran sel, fragmentasi inti, dan granulasi sitoplasma. Hasil disintegrasi awalnya granular kasar, kemudian menjadi butiran halus.



5. Silinder Lilin (Waxy Cast)

Silinder lilin adalah silinder tua hasil silinder granular yang mengalami perubahan degeneratif lebih lanjut. Ketika silinder selular tetap berada di nefron untuk beberapa waktu sebelum mereka dikeluarkan ke kandung kemih, sel-sel dapat berubah menjadi silinder granular kasar, kemudian menjadi sebuah silinder granular halus, dan akhirnya, menjadi silinder yang licin seperti lilin (waxy). Silinder lilin umumnya terkait dengan penyakit ginjal berat dan amiloidosis ginjal. Kemunculan mereka menunjukkan keparahan penyakit dan dilasi nefron dan karena itu terlihat pada tahap akhir penyakit ginjal kronis.

Yang disebut telescoped urinary sediment adalah salah satu di mana eritrosit, leukosit, oval fat bodies, dan segala jenis silinder yang ditemukan kurang lebih sama-sama berlimpah. Kondisi yang dapat menyebabkan telescoped urinary sediment adalah: 1) lupus nefritis 2) hipertensi ganas 3) diabetes glomerulosclerosis, dan 4) glomerulonefritis progresif cepat.

Pada tahap akhir penyakit ginjal dari setiap penyebab, sedimen saluran kemih sering menjadi sangat kurang karena nefron yang masih tersisa menghasilkan urin encer.


Bakteri

Bakteri yang umum dalam spesimen urin karena banyaknya mikroba flora normal vagina atau meatus uretra eksternal dan karena kemampuan mereka untuk cepat berkembang biak di urine pada suhu kamar. Bakteri juga dapat disebabkan oleh kontaminan dalam wadah pengumpul, kontaminasi tinja, dalam urine yang dibiarkan lama (basi), atau memang dari infeksi di saluran kemih. Oleh karena itu pengumpulan urine harus dilakukan dengan benar (lihat pengumpulan specimen urine)

Diagnosis bakteriuria dalam kasus yang dicurigai infeksi saluran kemih memerlukan tes biakan kuman (kultur). Hitung koloni juga dapat dilakukan untuk melihat apakah jumlah bakteri yang hadir signifikan. Umumnya, lebih dari 100.000 / ml dari satu organisme mencerminkan bakteriuria signifikan. Beberapa organisme mencerminkan kontaminasi. Namun demikian, keberadaan setiap organisme dalam spesimen kateterisasi atau suprapubik harus dianggap signifikan.


Ragi

Sel-sel ragi bisa merupakan kontaminan atau infeksi jamur sejati. Mereka sering sulit dibedakan dari sel darah merah dan kristal amorf, membedakannya adalah bahwa ragi memiliki kecenderungan bertunas. Paling sering adalah Candida, yang dapat menginvasi kandung kemih, uretra, atau vagina.



Trichomonas vaginal
is

Trichomonas vaginalis adalah parasit menular seksual yang dapat berasal dari urogenital laki-laki dan perempuan. Ukuran organisme ini bervariasi antara 1-2 kali diameter leukosit. Organisme ini mudah diidentifikasi dengan cepat dengan melihat adanya flagella dan pergerakannya yang tidak menentu.



Kristal

Kristal yang sering dijumpai adalah kristal calcium oxallate, triple phosphate, asam urat. Penemuan kristal-kristal tersebut tidak mempunyai arti klinik yang penting. Namun, dalam jumlah berlebih dan adanya predisposisi antara lain infeksi, memungkinkan timbulnya penyakit "kencing batu", yaitu terbentuknya batu ginjal-saluran kemih (lithiasis) di sepanjang ginjal – saluran kemih, menimbulkan jejas, dan dapat menyebabkan fragmen sel epitel terkelupas. Pembentukan batu dapat disertai kristaluria, dan penemuan kristaluria tidak harus disertai pembentukan batu.


1. Kalsium Oksalat

Kristal ini umum dijumpai pada spesimen urine bahkan pada pasien yang sehat. Mereka dapat terjadi pada urin dari setiap pH, terutama pada pH yang asam. Kristal bervariasi dalam ukuran dari cukup besar untuk sangat kecil. Kristal ca-oxallate bervariasi dalam ukuran, tak berwarna, dan bebentuk amplop atau halter. Kristal dapat muncul dalam specimen urine setelah konsumsi makanan tertentu (mis. asparagus, kubis, dll) dan keracunan ethylene glycol. Adanya 1 – 5 ( + ) kristal Ca-oxallate per LPL masih dinyatakan normal, tetapi jika dijumpai lebih dari 5 ( ++ atau +++ ) sudah dinyatakan abnormal.

2. Triple Fosfat

Seperti halnya Ca-oxallate, triple fosfat juga dapat dijumpai bahkan pada orang yang sehat. Kristal terlihat berbentuk prisma empat persegi panjang seperti tutup peti mati (kadang-kadang juga bentuk daun atau bintang), tak berwarna dan larut dalam asam cuka encer. Meskipun mereka dapat ditemukan dalam setiap pH, pembentukan mereka lebih disukai di pH netral ke basa. Kristal dapat muncul di urin setelah konsumsi makan tertentu (buah-buahan). Infeksi saluran kemih dengan bakteri penghasil urease (mis. Proteus vulgaris) dapat mendukung pembentukan kristal (dan urolithiasis) dengan meningkatkan pH urin dan meningkatkan amonia bebas.

3. Asam Urat

Kristal asam urat tampak berwarna kuning ke coklat, berbentuk belah ketupat (kadang-kadang berbentuk jarum atau mawar). Dengan pengecualian langka, penemuan kristal asam urat dalam urin sedikit memberikan nilai klinis, tetapi lebih merupakan zat sampah metabolisme normal; jumlahnya tergantung dari jenis makanan, banyaknya makanan, kecepatan metabolisme dan konsentrasi urin. Meskipun peningkatan 16% pada pasien dengan gout, dan dalam keganasan limfoma atau leukemia, kehadiran mereka biasanya tidak patologis atau meningkatkan konsentrasi asam urat.

4. Sistin (Cystine)

Cystine berbentuk heksagonal dan tipis. Kristal ini muncul dalam urin sebagai akibat dari cacat genetic atau penyakit hati yang parah. Kristal dan batu sistin dapat dijumpai pada cystinuria dan homocystinuria. Terbentuk pada pH asam dan ketika konsentrasinya > 300mg. Sering membingungkan dengan kristal asam urat. Sistin crystalluria atau urolithiasis merupakan indikasi cystinuria, yang merupakan kelainan metabolisme bawaan cacat yang melibatkan reabsorpsi tubulus ginjal tertentu termasuk asam amino sistin.

5. Leusin dan Tirosin

Leusin dan tirosin adalah kristal asam amino dan sering muncul bersama-sama dalam penyakit hati yang parah. Tirosin tampak sebagai jarum yang tersusun sebagai berkas atau mawar dan kuning. Leusin muncul-muncul berminyak bola dengan radial dan konsentris striations. Kristal leucine dipandang sebagai bola kuning dengan radial konsentris. Kristal ini kadang-kadang dapat keliru dengan sel-sel, dengan pusat nukleus yang menyerupai. Kristal dari asam amino leusin dan tirosin sangat jarang terlihat di sedimen urin. Kristal ini dapat diamati pada beberapa penyakit keturunan seperti tyrosinosis dan "penyakit Maple Syrup". Lebih sering kita menemukan kristal ini bersamaan pada pasien dengan penyakit hati berat (sering terminal).

6. Kristal Kolesterol

Kristal kolesterol tampak regular atau irregular , transparan, tampak sebagai pelat tipis empat persegi panjang dengan satu (kadang dua) dari sudut persegi memiliki takik. Penyebab kehadiran kristal kolesterol tidak jelas, tetapi diduga memiliki makna klinis seperti oval fat bodies. Kehadiran kristal kolesterol sangat jarang dan biasanya disertai oleh proteinuria.



7. Kristal lain
Berbagai macam jenis kristal lain yang dapat dijumpai dalam sedimen urin misalnya adalah :

Kristal dalam urin asam :
  • Natirum urat : tak berwarna, bentuk batang ireguler tumpul, berkumpul membentuk roset.
  • Amorf urat : warna kuning atau coklat, terlihat sebagai butiran, berkumpul.
Kristal dalam urin alkali :

  • Amonium urat (atau biurat) : warna kuning-coklat, bentuk bulat tidak teratur, bulat berduri, atau bulat bertanduk.






  • Ca-fosfat : tak berwarna, bentuk batang-batang panjang, berkumpul membentuk rosset.
  • Amorf fosfat : tak berwarna, bentuk butiran-butiran, berkumpul.
  • Ca-karbonat : tak berwarna, bentuk bulat kecil, halter.
Secara umum, tidak ada intepretasi klinis, tetapi jika terdapat dalam jumlah yang banyak, mungkin dapat menimbulkan gangguan.

Banyak obat diekskresikan dalam urin mempunyai potensi untuk membentuk kristal, seperti :

kristal Sulfadiazin dan kristal Sulfonamida


Pengumpulan Spesimen Urine

Hasil pemeriksaan urine tidak hanya dapat memberikan informasi tentang ginjal dan saluran kemih, tetapi juga mengenai faal berbagai organ tubuh seperti hati, saluran empedu, pancreas, dsb. Namun, untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang akurat, diperlukan specimen yang memenuhi syarat. Pemilihan jenis sampel urine, tehnik pengumpulan sampai dengan pemeriksaan harus dilakukan dengan prosedur yang benar.

Jenis sampel urine :
  • Urine sewaktu/urine acak (random)Urine sewaktu adalah urine yang dikeluarkan setiap saat dan tidak ditentukan secara khusus. Mungkin sampel encer, isotonik, atau hipertonik dan mungkin mengandung sel darah putih, bakteri, dan epitel skuamosa sebagai kontaminan. Jenis sampel ini cukup baik untuk pemeriksaan rutin tanpa pendapat khusus.
  • Urine pagiPengumpulan sampel pada pagi hari setelah bangun tidur, dilakukan sebelum makan atau menelan cairan apapun. Urine satu malam mencerminkan periode tanpa asupan cairan yang lama, sehingga unsur-unsur yang terbentuk mengalami pemekatan. Urine pagi baik untuk pemeriksaan sedimen dan pemeriksaan rutin serta tes kehamilan berdasarkan adanya HCG (human chorionic gonadothropin) dalam urine.
  • Urine tampung 24 jamUrine tampung 24 jam adalah urine yang dikeluarkan selama 24 jam terus-menerus dan dikumpulkan dalam satu wadah. Urine jenis ini biasanya digunakan untuk analisa kuantitatif suatu zat dalam urine, misalnya ureum, kreatinin, natrium, dsb. Urine dikumpulkan dalam suatu botol besar bervolume 1.5 liter dan biasanya dibubuhi bahan pengawet, misalnya toluene.


Wadah Spesimen

Wadah untuk menampung spesimen urine sebaiknya terbuat dari bahan plastik, tidak mudah pecah, bermulut lebar, dapat menampung 10-15 ml urine dan dapat ditutup dengan rapat. Selain itu juga harus bersih, kering, tidak mengandung bahan yang dapat mengubah komposisi zat-zat yang terdapat dalam urine.


Prosedur Pengumpulan

Pengambilan spesimen urine dilakukan oleh penderita sendiri (kecuali dalam keadaan yang tidak memungkinkan). Sebelum pengambilan spesimen, penderita harus diberi penjelasan tentang tata cara pengambilan yang benar.

Spesimen urine yang ideal adalah urine pancaran tengah (midstream), di mana aliran pertama urin dibuang dan aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah yang telah disediakan. Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis. Aliran pertama urine berfungsi untuk menyiram sel-sel dan mikroba dari luar uretra agar tidak mencemari spesimen urine.

Sebelum dan sesudah pengumpulan urine, pasien harus mencuci tangan dengan sabun sampai bersih dan mengeringkannya dengan handuk, kain yang bersih atau tissue. Pasien juga perlu membersihkan daerah genital sebelum berkemih. Wanita yang sedang haid harus memasukkan tampon yang bersih sebelum menampung spesimen.

Pasien yang tidak bisa berkemih sendiri perlu dibantu orang lain (mis. keluarga atau perawat). Orang-orang tersebut harus diberitahu dulu mengenai cara pengumpulan sampel urine; mereka harus mencuci tangannya sebelum dan sesudah pengumpulan sampel; menampung urine midstream dengan baik. Untuk pasien anak-anak mungkin perlu dipengaruhi/dimaotivasi untuk mengeluarkan urine. Pada pasien bayi dipasang kantung penampung urine pada genitalia.

Pada kondisi tertentu, urine kateter juga dapat digunakan. Dalam keadaan khusus, misalnya pasien dalam keadaan koma atau pasien gelisah, diperlukan kateterisasi kandung kemih melalui uretra. Prosedur ini menyebabkan 1 - 2 % risiko infeksi dan menimbulkan trauma uretra dan kandung kemih. Untuk menampung urine dari kateter, lakukan desinfeksi pada bagian selang kateter dengan menggunakan alkohol 70%. Aspirasi urine dengan menggunakan spuit sebanyak 10 – 12 ml. Masukkan urine ke dalam wadah dan tutup rapat. Segera kirim sampel urine ke laboratorium.

Untuk mendapatkan informasi mengenai kadar analit dalam urine biasanya diperlukan sampel urine 24 jam. Cara pengumpulan urine 24 jam adalah :
  • Pada hari pengumpulan, pasien harus membuang urin pagi pertama. Catat tanggal dan waktunya. Semua urine yang dikeluarkan pada periode selanjutnya ditampung.
  • Jika pasien ingin buang air besar, kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu untuk menghindari kehilangan air seni dan kontaminasi feses pada sampel urin wanita.
  • Keesokan paginya tepat 24 jam setelah waktu yang tercatat pada wadah, pengumpulan urin dihentikan.
  • Spesimen urine sebaiknya didinginkan selama periode pengumpulan.

Biakan Urine

Spesimen urine apabila ditampung secara benar mempunyai nilai diagnostic yang besar, tetapi bila tercemar oleh kuman yang bersal dari urethra atau peritoneum dapat menyebabkan salah penafsiran. Sampel urine acak cukup baik untuk biakan kuman. Namun, bila specimen urine acak tidak menunjukkan pertumbuhan, urine pekat atau urine pagi dapat digunakan.

Sampel urine yang dikumpulkan adalah urine midstream clean-catch. Biakan kuman dengan sampel ini dapat menentukan diagnosis secara teliti pada 80% penderita wanita dan hampir 100% penderita pria, apabila lubang uretra dibersihkan sesuai persyaratan. Urine clean-catch adalah spesimen urin midstream yang dikumpulkan setelah membersihkan meatus uretra eksternal. Urine jenis ini biasanya digunakan untuk tes biakan kuman (kultur). Sebelum mengumpulkan urine, pasien harus membersihkan daerah genital dengan air bersih atau steril. Jangan gunakan deterjen atau desinfektan. Tampung urine bagian tengah ke dalam wadah yang steril. Kumpulkan urin menurut volume direkomendasikan, yaitu 20 ml untuk orang dewasa dan 5-10 ml untuk anak-anak.

Pada keadaan yang mengharuskan kateter tetap dibiarkan dalam saluran kemih dengan sistem drainase tertutup, urine untuk biakan dapat diperoleh dengan cara melepaskan hubungan antara kateter dengan tabung drainase atau mengambil sampel dari kantung drainase.

Bila tidak memungkinkan memperoleh urine yang dikemihkan atau bila diduga terjadi infeksi dengan kuman anaerob, aspirasi suprapubik merupakan cara penampungan yang paling baik.

Spesimen yang menunjukkan pertumbuhan lebih dari satu jenis kuman, dianggap sebagai tercemar, kecuali pada penderita dengan kateter yang menetap.

Cara pengambilan sampel urine clean-catch pada pasien wanita :
  • Pasien harus mencuci tangannya dengan memakai sabun lalu mengeringkannya dengan handuk, kain yang bersih atau tissue.
  • Tanggalkan pakaian dalam, lebarkan labia dengan satu tangan
  • Bersihkan labia dan vulva menggunakan kasa steril dengan arah dari depan ke belakang
  • Bilas dengan air bersih dan keringkan dengan kasa steril yang lain.
  • Selama proses ini berlangsung, labia harus tetap terbuka dan jari tangan jangan menyentuh daerah yang telah dibersihkan.
  • Keluarkan urine, aliran urine yang pertama dibuang. Aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah steril yang telah disediakan. Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis. Diusahakan agar urine tidak membasahi bagian luar wadah.
  • Wadah ditutup rapat dan segera dikirim ke laboratorium.
Cara pengambilan urine clean-catch pada pasien pria :
  • Pasien harus mencuci tangannya dengan memakai sabun lalu mengeringkannya dengan handuk, kain yang bersih atau tissue.
  • Jika tidak disunat, tarik preputium ke belakang. Keluarkan urine, aliran urine yang pertama dibuang. Aliran urine selanjutnya ditampung dalam wadah steril yang telah disediakan. Pengumpulan urine selesai sebelum aliran urine habis. Diusahakan agar urine tidak membasahi bagian luar wadah.
  • Wadah ditutup rapat dan segera dikirim ke laboratorium
Aspirasi jarum suprapubik transabdominal kandung kemih merupakan cara mendapatkan sampel urine yang paling murni. Pengumpulan urine aspirasi suprapubik harus dilakukan pada kandung kemih yang penuh.
  • Lakukan desinfeksi kulit di daerah suprapubik dengan Povidone iodine 10% kemudian bersihkan sisa Povidone iodine dengan alkohol 70%
  • Aspirasi urine tepat di titik suprapubik dengan menggunakan spuit
  • Diambil urine sebanyak ± 20 ml dengan cara aseptik/suci hama (dilakukan oleh petugas yang berkompenten)
  • Masukkan urine ke dalam wadah yang steril dan tutup rapat.
  • Segera dikirim ke laboratorium.

Glukosa (Urine)

Darah disaring oleh jutaan nefron, sebuah unit fungsional dalam ginjal. Hasil penyaringan (filtrat) berisi produk-produk limbah (mis. urea), elektrolit (mis. natrium, kalium, klorida), asam amino, dan glukosa. Filtrat kemudian dialirkan ke tubulus ginjal untuk direabsorbsi dan diekskresikan; zat-zat yang diperlukan (termasuk glukosa) diserap kembali dan zat-zat yang tidak diperlukan kembali diekskresikan ke dalam urin.

Kurang dari 0,1% glukosa yang disaring oleh glomerulus terdapat dalam urin (kurang dari 130 mg/24 jam). Glukosuria (kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui (kadar glukosa darah melebihi 160-180 mg/dl atau 8,9-10 mmol/l), atau daya reabsorbsi tubulus yang menurun.


Prosedur

Uji glukosa urin konvensional menggunakan pereaksi Benedict atas dasar sifat glukosa sebagai zat pereduksi. Cara ini tidak spesifik karena beberapa pereduksi lain dapat mengacaukan hasil uji. Beberapa gula lain bisa menyebabkan hasil uji reduksi positif misalnya fruktosa, sukrosa, galaktosa, pentose, laktosa, dsb. Beberapa zat bukan gula yang dapat mengadakan reduksi seperti asam homogentisat, alkapton, formalin, glukoronat. Pengaruh obat : streptomisin, salisilat kadar tinggi, vitamin C, dsb.

Metode carik celup (dipstick) dinilai lebih bagus karena lebih spesifik untuk glukosa dan waktu pengujian yang amat singkat. Reagen strip untuk glukosa dilekati dua enzim, yaitu glukosa oksidase (GOD) dan peroksidase (POD), serta zat warna (kromogen) seperti orto-toluidin yang akan berubah warna biru jika teroksidasi. Zat warna lain yang digunakan adalah iodide yang akan berubah warna coklat jika teroksidasi.

Prosedur uji yang akan dijelaskan di sini adalah uji dipstick. Kumpulkan spesimen acak (random)/urin sewaktu. Celupkan strip reagen (dipstick) ke dalam urin. Tunggu selama 60 detik, amati perubahan warna yang terjadi dan cocokkan dengan bagan warna. Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji dipstick adalah :
  • Hasil uji positif palsu dapat disebabkan oleh : bahan pengoksidasi (hidrogen peroksida, hipoklorit, atau klorin) dalam wadah sampel urin, atau urine yang sangat asam (pH di bawah 4)
  • Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh : pengaruh obat (vitamin C, asam hogentisat, salisilat dalam jumlah besar, asam hidroksiindolasetat), berat jenis urine > 1,020 dan terutama bila disertai dengan pH urine yang tinggi, adanya badan keton dapat mengurangi sensitivitas pemeriksaan, infeksi bakteri.

Nilai Rujukan

Uji glukosa urin normal = negatif (kurang dari 50mg/dl)


Masalah Klinis

Glukosuria umumnya berarti diabetes mellitus. Namun, glukosuria dapat terjadi tidak sejalan dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah; oleh karena itu glukosuria tidak selalu dapat dipakai untuk menunjang diagnosis diabetes mellitus. Jika nilai ambang ginjal begitu rendah bahkan kadar glukosa darah normal menghasilkan kondisi glukosuria, keadaan ini disebut sebagai glycosuria ginjal.

Protein (Urine)

Biasanya, hanya sebagian kecil protein plasma disaring di glomerulus yang diserap oleh tubulus ginjal dan diekskresikan ke dalam urin. Dengan menggunakan spesimen urin acak (random) atau urin sewaktu, protein dalam urin dapat dideteksi menggunakan strip reagen (dipstick). Normal ekskresi protein biasanya tidak melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl urin. Lebih dari 10 mg/dl didefinisikan sebagai proteinuria.

Sejumlah kecil protein dapat dideteksi pada urin orang yang sehat karena perubahan fisiologis. Selama olah raga, stres atau diet yang tidak seimbang dengan daging dapat menyebabkan proteinuria transien. Pra-menstruasi dan mandi air panas juga dapat menyebabkan proteinuria. Bayi baru lahir dapat mengalami peningkatan proteinuria selama usia 3 hari pertama.


Prosedur
  1. Spesimen urin acak (random)Kumpulkan spesimen acak (random)/urin sewaktu. Celupkan strip reagen (dipstick) ke dalam urin. Tunggu selama 60 detik, amati perubahan warna yang terjadi dan cocokkan dengan bagan warna. Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual.Dipstick mendeteksi protein dengan indikator warna Bromphenol biru, yang sensitif terhadap albumin tetapi kurang sensitif terhadap globulin, protein Bence-Jones, dan mukoprotein.
  2. Spesimen urin 24 jamKumpulkan urin 24 jam, masukkan dalam wadah besar dan simpan dalam lemari pendingin. Jika perlu, tambahkan bahan pengawet. Ukur kadar protein dengan metode kolorimetri menggunakan fotometer atau analyzer kimiawi otomatis.


Nilai Rujukan

Urin acak : negatif (≤15 mg/dl)
Urin 24 jam : 25 – 150 mg/24 jam.


Masalah Klinis

Pengukuran proteinuria dapat dipakai untuk membedakan antara penderita yang memiliki risiko tinggi menderita penyakit ginjal kronik yang asimptomatik dengan yang sehat. Proteinuria yang persistent (tetap ≥ +1, dievaluasi 2-3x / 3 bulan) biasanya menunjukkan adanya kerusakan ginjal. Proteinuria persistent juga akan memberi hasil ≥ +1 yang terdeteksi baik pada spesimen urine pagi maupun urine sewaktu setelah melakukan aktivitas.

Protein terdiri atas fraksi albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes mellitus, dan hipertensi. Sedangkan peningkatan ekskresi globulin dengan berat molekul rendah merupakan petanda yang sensitif untuk beberapa tipe penyakit tubulointerstitiel.

Proteinuria positif perlu dipertimbangkan untuk analisis kuantitatif protein dengan menggunakan sampel urine tampung 24 jam. Jumlah proteinuria dalam 24 jam digunakan sebagai indikator untuk menilai tingkat keparahan ginjal. Proteinuria rendah (kurang dari 500mg/24jam). Pengaruh obat : penisilin, gentamisin, sulfonamide, sefalosporin, media kontras, tolbutamid (Orinase), asetazolamid (Diamox), natrium bikarbonat.

Proteinuria sedang (500-4000 mg/24 jam) dapat berkaitan dengan glomerulonefritis akut atau kronis, nefropati toksik (toksisitas obat aminoglikosida, toksisitas bahan kimia), myeloma multiple, penyakit jantung, penyakit infeksius akut, preeklampsia.

Proteinuria tinggi (lebih dari 4000 mg/24 jam) dapat berkaitan dengan sindrom nefrotik, glomerulonefritis akut atau kronis, nefritis lupus, penyakit amiloid.


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Temuan Laboratorium
  • Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh hematuria, tingginya substansi molekular, infus polivinilpirolidon (pengganti darah), obat (lihat pengaruh obat), pencemaran urine oleh senyawa ammonium kuaterner (pembersih kulit, klorheksidin), urine yang sangat basa (pH > 8)
Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh urine yang sangat encer, urine sangat asam (pH di bawah 3)

Bilirubin (Urine)

Secara normal, bilirubin tidak dijumpai di urin. Bilirubin terbentuk dari penguraian hemoglobin dan ditranspor ke hati, tempat bilirubin berkonjugasi dan diekskresi dalam bentuk empedu. Bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk) ini larut dalam air dan diekskresikan ke dalam urin jika terjadi peningkatan kadar di serum. Bilirubin tak terkonjugasi (bilirubin indirek) bersifat larut dalam lemak, sehingga tidak dapat diekskresikan ke dalam urin.


Prosedur

Uji bilirubinuria dapat menggunakan reaksi diazo (dengan tablet atau dipstick), atau uji Fouchet (Harison spot test) dengan feri klorida asam (FeCl2). Uji bilirubinuria dengan reaksi diazo banyak dipakai karena lebih praktis dan lebih sensitif. Di antara dua macam uji diazo, uji tablet (mis. tablet Ictotest) lebih sensitif daripada dipstick.
  1. Reaksi diazoKumpulkan spesimen urin pagi atau urin sewaktu/acak (random). Celupkan stik reagen (dipstick) atau tablet Ictotest. Tunggu 30 detik, lalu bandingkan warnanya dengan bagan warna pada botol reagen. Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual.
  2. Uji FouchetKe dalam 12 ml urin, tambahkan 3 ml barium klorida dan 3 tetes ammonium sulfat jenuh. Centrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Buang supernatant, tambahkan 2 tetes larutan Fouchet pada endapan. Amati perubahan warna yang terjadi.Reaksi negatif jika tidak tampak perubahan warna. Reaksi positif jika terjadi perubahan warna : hijau atau biru.
Pengujian harus dilakukan dalam waktu 1 jam, dan urin harus dihindarkan dari pajanan sinar matahari (sinar ultraviolet) langsung agar bilirubin tidak teroksidasi menjadi biliverdin.


Nilai Rujukan

Normal : negatif (kurang dari 0.5mg/dl)


Masalah Klinis


Bilirubinuria (bilirubin dalam urin) mengindikasikan gangguan hati atau saluran empedu, seperti pada ikterus parenkimatosa (hepatitis infeksiosa, toksik hepar), ikterus obstruktif, kanker hati (sekunder), CHF disertai ikterik. Urin yang mengadung bilirubin yang tinggi tampak berwarna kuning pekat, dan jika digoncang-goncangkan akan timbul busa.

Obat-obatan yang dapat menyebabkan bilirubinuria : Fenotiazin – klorpromazin (Thorazine), asetofenazin (Tindal), klorprotiksen (Taractan), fenazopiridin (Pyridium), klorzoksazon (Paraflex).


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Temuan Laboratorium
  1. Uji dengan reaksi Diazo
    • Reaksi negatif palsu terjadi bila urin mengandung banyak asam askorbat (vitamin C), kadar nitrit dalam urine meningkat, asam urat tinggi, serta bila bilirubin teroksidasi menjadi biliverdin akibat spesimen urin terpajan sinar matahari (ultraviolet) langsung.
    • Hasil positif palsu dapat dijumpai pada pemakaian obat yang menyebabkan urine menjadi berwarna merah (lihat pengaruh obat
  2. Uji Fouchet
    • Reaksi negative palsu terjadi bila bilirubin teroksidasi menjadi biliverdin akibat penundaan pemeriksaan.
    • Reaksi positif palsu oleh adanya metabolit aspirin, urobilin atau indikan, urobilinogen.

Urobilinogen (Urine)

Empedu, yang sebagian besar dibentuk dari bilirubin terkonjugasi mencapai area duodenum, tempat bakteri usus mengubah bilirubin menjadi urobilinogen. Sejumlah besar urobilinogen berkurang di faeses, sejumlah besar kembali ke hati melalui aliran darah; di sini urobilinogen diproses ulang menjadi empedu, dan kira-kira sejumlah 1% diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin.

Ekskresi urobilinogen ke dalam urine kira-kira 1-4 mg/24jam. Ekskresi mencapai kadar puncak antara jam 14.00 – 16.00, oleh karena itu dianjurkan pengambilan sampel dilakukan pada jam-jam tersebut.


Prosedur
  1. Spesimen urin sewaktuUrine harus dalam keadaan masih segar dan harus segera diperiksa. Uji dapat dilakukan sebagai bagian dari analisis urin rutin, menggunakan strip reagen (dipstick) atau pereaksi Erlich. Celupkan strip reagen ke dalam urin, tunggu 30 detik. Amati perubahan warna dan bandingkan dengan bagan warna. Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual.
  2. Spesimen urin 2 jamKumpulkan specimen urin di antara jam 13.00 – 15.00, atau antara jam 14.00 – 16.00, karena urobilinogen mencapai puncaknya di siang hari pada jam-jam tersebut. Urin harus disimpan dalam lemari pendingin dan tempat yang gelap; urin harus segera diperiksa dalam 30 menit karena urobilinogen dapat teroksidasi menjadi urobilin (zat oranye). Uji dapat dilakukan dengan menggunakan strip reagen (dipstick).
  3. Spesimen urin 24 jamKumpulkan urin 24 jam, masukkan dalam wadah besar dan simpan dalam lemari pendingin. Jika perlu tambahkan bahan pengawet. Jauhkan urin dari pajanan cahaya. Tunda pemberian obat yang dapat mempengaruhi hasil uji selama 24 jam atau sampai uji selesai dilakukan. Jika obat memang harus diberikan, cantumkan nama obat tersebut pada formulir laboratorium. Uji dilakukan dengan menggunakan strip reagen (dipstick).

Nilai Rujukan
  • Urin acak : negatif (kurang dari 2mg/dl>
  • Urin 2 jam : 0.3 – 1.0 unit Erlich
  • Urin 24 jam : 0.5 – 4.0 unit Erlich/24jam, atau 0,09 – 4,23 µmol/24 jam (satuan SI)

Masalah Klinis

Peningkatan ekskresi urobilinogen dalam urine terjadi bila fungsi sel hepar menurun atau terdapat kelebihan urobilinogen dalam saluran gastrointestinal yang melebehi batas kemampuan hepar untuk melakukan rekskresi.

Urobilinogen meninggi dijumpai pada : destruksi hemoglobin berlebihan (ikterik hemolitika atau anemia hemolitik oleh sebab apapun), kerusakan parenkim hepar (toksik hepar, hepatitis infeksiosa, sirosis hepar, keganasan hepar), penyakit jantung dengan bendungan kronik, obstruksi usus, mononukleosis infeksiosa, anemia sel sabit.

Hasil positif juga dapat diperoleh setelah olahraga atau minum atau dapat disebabkan oleh kelelahan atau sembelit. Orang yang sehat dapat mengeluarkan sejumlah kecil urobilinogen.

Urobilinogen urine menurun dijumpai pada ikterik obstruktif, kanker pankreas, penyakit hati yang parah (jumlah empedu yang dihasilkan hanya sedikit), penyakit inflamasi yang parah, kolelitiasis, diare yang berat.


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Temuan Laboratorium
  1. Reaksi positif palsu
    • Pengaruh obat : fenazopiridin (Pyridium), sulfonamide, fenotiazin, asetazolamid (Diamox), kaskara, metenamin mandelat (Mandelamine), prokain, natrium bikarbonat, pemakaian pengawet formaldehid.
    • Makanan kaya karbohidrat dapat meninggikan kadar urobilinogen, oleh karena itu pemeriksaan urobilinogen dianjurkan dilakukan 4 jam setelah makan.
    • Urine yang bersifat basa kuat dapat meningkatkan kadar urobilinogen; urine yang dibiarkan setengah jam atau lebih lama akan menjadi basa.
  2. Reaksi negatif palsu
    • Pemberian antibiotika oral atau obat lain (ammonium klorida, vitamin C) yang mempengaruhi flora usus yang menyebabkan urobilinogen tidak atau kurang terbentuk dalam usus, sehingga ekskresi dalam urine juga berkurang.
    • Paparan sinar matahari langsung dapat mengoksidasi urobilinogen menjadi urobilin.
    • Urine yang bersifat asam kuat.

Badan Keton (Urine)

Badan keton terdiri dari 3 senyawa, yaitu aseton, asam aseotasetat, dan asam β-hidroksibutirat, yang merupakan produk metabolisme lemak dan asam lemak yang berlebihan. Badan keton diproduksi ketika karbohidrat tidak dapat digunakan untuk menghasilkan energi yang disebabkan oleh : gangguan metabolisme karbohidrat (mis. diabetes mellitus yang tidak terkontrol), kurangnya asupan karbohidrat (kelaparan, diet tidak seimbang : tinggi lemak – rendah karbohidrat), gangguan absorbsi karbohidrat (kelainan gastrointestinal), atau gangguan mobilisasi glukosa, sehingga tubuh mengambil simpanan asam lemak untuk dibakar.

Peningkatan kadar keton dalam darah akan menimbulkan ketosis sehingga dapat menghabiskan cadangan basa (mis. bikarbonat, HCO3) dalam tubuh dan menyebabkan asidosis. Pada ketoasidosis diabetik, keton serum meningkat hingga mencapai lebih dari 50 mg/dl.

Keton memiliki struktur yang kecil dan dapat diekskresikan ke dalam urin. Namun, kenaikan kadarnya pertama kali tampak pada plasma atu serum, kemudian baru urin. Ketonuria (keton dalam urin) terjadi akibat ketosis. Benda keton yang dijumpai di urine terutama adalah aseton dan asam asetoasetat.


Prosedur

Kumpulkan spesimen urine secara acak (urin random atau urin sewaktu). Urin harus segar dan ditampung dalam wadah tertutup rapat. Pengujian harus segera dilakukan, karena penundaan pengujian lebih lama dapat menyebabkan temuan negatif palsu. Hal ini dikarenakan keton mudah menguap. Uji ketonuria dapat dilakukan dengan menggunakan tablet Acetest, atau strip reagen (dipstick) Ketostix atau strip reagen multitest (mis. Combur, Multistix, Arkray, dsb).

Uji ketonuria dengan tablet Acetest digunakan untuk mendeteksi dua keton utama, yaitu aseton dan asam asetoasetat. Letakkan tablet Acetest di atas kertas saring atau tissue, lalu teteskan urin segar di atas tablet tersebut. Tunggu selama 30 detik. Amati perubahan warna yang terjadi pada tablet tersebut; jika berubah warna menjadi berwarna lembayung terang – gelap, maka uji keton dinyatakan positif.

Uji ketonuria dengan strip reagen (Ketostix atau strip reagen multitest) lebih sensitif terhadap asam asetoasetat daripada aseton. Celupkan strip reagen ke dalam urin. Tunggu selam 15 detik, lalu amati perubahan warna yang terjadi. Bandingkan dengan bagan warna. Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual.


Nilai Rujukan

Dewasa dan anak : uji keton negatif (kurang dari15 mg/dl)


Masalah Klinis

Uji keton positif dapat dijumpai pada : Asidosis diabetic (ketoasidosis), kelaparan atau malnutrisi, diet rendah karbohidrat, berpuasa, muntah yang berat, pingsan akibat panas, kematian janin. Pengaruh obat : asam askorbat, senyawa levodopa, insulin, isopropil alkohol, paraldehida, piridium, zat warna yang digunakan untuk berbagai uji (bromsulfoftalein dan fenosulfonftalein).


Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium
  • Diet rendah karbohidrat atau tinggi lemak dapat menyebabkan temuan positif palsu. • Obat tertentu (Lihat pengaruh obat)
  • Urin disimpan pada temperature ruangan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan hasil uji negaif palsu
  • Adanya bakteri dalam urin dapat menyebabkan kehilangan asam asetoasetat
  • Anak penderita diabetes cenderung mengalami ketonuria daripada penderita dewasa.

Kamis, 01 Desember 2011

Protein Serum

Protein adalah suatu makromolekul yang tersusun atas molekul-molekul asam amino yang berhubungan satu dengan yang lain melalui suatu ikatan yang dinamakan ikatan peptida. Sejumlah besar asam amino dapat membentuk suatu senyawa protein yang memiliki banyak ikatan peptida, karena itu dinamakan polipeptida. Secara umum protein berfungsi dalam sistem komplemen, sumber nutrisi, bagian sistem buffer plasma, dan mempertahankan keseimbangan cairan intra dan ekstraseluler. Berbagai protein plasma terdapat sebagai antibodi, hormon, enzim, faktor koagulasi, dan transport substansi khusus.

Protein-protein kebanyakan disintesis di hati. Hepatosit-hepatosit mensintesis fibrinogen, albumin, dan 60 – 80 % dari bermacam-macam protein yang memiliki ciri globulin. Globulin-globulin yang tersisa adalah imunoglobulin (antibodi) yang dibuat oleh sistem limforetikuler.

Penetapan kadar protein dalam serum biasanya mengukur protein total, dan albumin atau globulin. Ada satu cara mudah untuk menetapkan kadar protein total, yaitu berdasarkan pembiasan cahaya oleh protein yang larut dalam serum. Penetapan ini sebenarnya mengukur nitrogen karena protein berisi asam amino dan asam amino berisi nitrogen.

Total protein terdiri atas albumin (60%) dan globulin (40%). Bahan pemeriksaan yang digunakan untuk pemeriksaan total protein adalah serum. Bila menggunakan bahan pemeriksaan plasma, kadar total protein akan menjadi lebih tinggi 3 – 5 % karena pengaruh fibrinogen dalam plasma.

Cara yang paling sederhana dalam penetapan protein adalah dengan refraktometer (dipegang dengan tangan) yang menghitung protein dalam larutan berdasarkan perubahan indeks refraksi yang disebabkan oleh molekul-molekul protein dalam larutan. Indeks refraksi mudah dilakukan dan tidak memerlukan reagen lain, tetapi dapat terganggu oleh adanya hiperlipidemia, peningkatan bilirubin, atau hemolisis.

Saat ini, pengukuran protein telah banyak menggunakan analyzer kimiawi otomatis. Pengukuran kadar menggunakan prinsip penyerapan (absorbance) molekul zat warna. Protein total biasanya diukur dengan reagen Biuret dan tembaga sulfat basa. Penyerapan dipantau secara spektrofotometri pada λ 545 nm. Albumin sering dikuantifikasi sendiri. Sedangkan globulin dihitung dari selisih kadar antara protein total dan albumin yang diukur.

Albumin dapat meningkatkan tekanan osmotik yang penting untuk mempertahankan cairan vaskular. Penurunan albumin serum dapat menyebabkan cairan berpindah dari dalam pembuluh darah menuju jaringan sehingga terjadi edema.

Rasio A/g merupakan perhitungan terhadap distribusi fraksi dua protein yang penting, yaitu albumin dan globulin. Nilai rujukan A/G adalah > 1.0. Nilai rasio yang tinggi dinyatakan tidak signifikan, sedangkan rasio yang rendah ditemukan pada penyakit hati dan ginjal. Perhitungan elektroforesis merupakan perhitungan yang lebih akurat dan sudah menggantikan cara perhitungan rasio A/G.


Nilai Rujukan
  • DEWASA : protein total : 6.0 - 8.0 g/dl; albumin : 3.5 - 5.0 g/dl
  • ANAK : protein total : 6.2 - 8.0 g/dl; albumin : 4.0 - 5.8 g/dl
  • BAYI : protein total : 6.0 - 6.7 g/dl; albumin : 4.4 - 5.4 g/dl
  • NEONATUS : protein total : 4.6 - 7.4 g/dl; albumin : 2.9 - 5.4 g/dl


Masalah Klinis
  • Protein total
    • PENURUNAN KADAR : malnutrisi berkepanjangan, kelaparan, diet rendah protein, sindrom malabsorbsi, kanker gastrointestinal, kolitis ulseratif, penyakit Hodgkin, penyakit hati yang berat, gagal ginjal kronis, luka bakar yang parah, intoksikasi air.
    • PENINGKATAN KADAR : dehidrasi (hemokonsentrasi), muntah, diare, mieloma multipel, sindrom gawat pernapasan, sarkoidosis.
  • Albumin
    • PENURUNAN KADAR : sirosis hati, gagal ginjal akut, luka bakar yang parah, malnutrisi berat, preeklampsia, gangguan ginjal, malignansi tertentu, kolitis ulseratif, enteropati kehilangan protein, malabsorbsi. Pengaruh obat : penisilin, sulfonamid, aspirin, asam askorbat.
    • PENINGKATAN KADAR : dehidrasi, muntah yang parah, diare berat. Pengaruh obat : heparin.


Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
  • Diet tinggi lemak sebelum dilakukan pemeriksaan.
  • Sampel darah hemolisis.


Bahan bacan :
  1. Anna Poedjiadi, Dasar-Dasar Biokimia, UI Press, Jakarta, 1994
  2. Frances K. Widmann, alih bahasa : S. Boedina Kresno, dkk., Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, EGC, Jakarta, 1992.
  3. Joyce LeFever Kee, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik, edisi 6, EGC, Jakarta, 2007.
  4. Kratz, Alexander et. al., The Plasma Proteins, dalam : Lewandrofwski, Kent (ed.), Clinical Chemistry : Laboratory Management and Clinical Correlations, Lippincott William & Wlkins, Philadelphia, USA, 2002.
  5. Mansjur Hawab, Pengantar Biokimia, Bayumedia Publishing, Malang, 2003.
  6. Ronald A. Sacher & Richard A. McPherson, alih bahasa : Brahm U. Pendit & Dewi Wulandari, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11, EGC, Jakarta, 2004.